Oh hai blog, sini-sini cerita-cerita.
Kau tanya aku dimana sekarang? Aku disini. Sebuah desa yang sejuk-sejuk panas di pantai ujung timur jawa. Pantai yang bikin diriku gak pernah bosen untuk menyambut matahari pertama yang menyapa pulau Jawa. Gak pernah. Lautnya? Lautnya berombak, kadang tenang, kadang bergemuruh membuatku merinding, kadang surut jauh, dan kadang pasang, sampai menenggelamkan pantai tempat gw biasa pacaran. Di horizon sana tampak pulau Bali, memamerkan konturnya yang aduhai, sama sekali enggak menarik perhatian gw. Hehe… jangan tanya kenapa. Karena proposal pertama yang gw ajukan untuk berlayar ke Bali ditanggapi dengan satu kata final oleh si bos besar : negatif. Banyak madharat di sana katanya. Ahhahahaa…. Di satu sisi kita sepakat, bos. Tapi Bali bagiku bukan Bali itu sendiri. Tapi laut, dan kapalnya, dan perjalanannya, meski cuma beberapa menit. Ah mungkin belum waktuku untuk kembali merasakan alunan ombak di atas kapal.
Aku sibuk apa sekarang? Sibuk memahami dan mendalami karakter seseorang yang benar-benar baru ini. Baru kukenal lewat proposalnya yang kuterima pertengahan tahun lalu. Proposal yang bikin gw langsunggggg jatuh cinta. Tapi bukan padanya, tapi pada seseorang yang melahirkan dan membesarkannya. Iya, jauuuh sebelum aku benar-benar yakin untuk menerimanya, aku telah jatuh cinta sama umi. Ihhihi. Iso yo. Yah begitulah cinta, misterinya tiada akhir.
Sibuk bereksperimen di lab dapur (nasib seorang koki pre-beginner). Mencoba menu-menu hasil guglingan yang kadang hasilnya melebihi ekspektasi, tapi lebih seringnya ehm uhuk, ya gitu deh, setidaknya edible :D. Dan dengan kebesaran hatinya, dia memberikanku kesempatan bereksperimen. Pun kadang turut terjun jadi asistenku :D. Sampai akhirnya aku mulai tahu benar apa dan bagaimana seleranya.
Sepanjang umur pertemuan kami, pada beberapa hal aku kadang terhenyak. Terhenyak mendapati pola pikir dan pola rasa seseorang yang… yang… emm… unik. Dan aku mulai menyadari kesalahanku yang kadang mengukur pola rasa-nya dengan pola rasa-ku. Sehingga berujung pada percik-percik rasa tak nyaman, yang akhirnya menghasilkan pembicaraan-pembicaraan serius antara kami, saling membuka hati tentang bagaimana yang diinginkan oleh masing-masing. Sepertinya, pengenalan terhadapnya tak akan pernah usai.
Sibuk bersyukur. Mensyukuri nikmat Allah yang Dia karuniakan lewat seseorang itu. Mensyukuri kesabarannya atas omelan dan rengekanku, mensyukuri kebaikan hatinya, mensyukuri kedewasaannya, mensyukuri keluarga besar yang luar biasa, mensyukuri kegokilannya, mensyukuri kepekaannya terhadap semua mua ekspresi yang tercetak di mukaku :D. Dan overall, mensyukuri penerimaannya terhadapku, juga motivasi dan dukungannya untuk langkah-langkahku. Bersamanya aku merasa hidupku menjadi lebih rapih. Tertata. Bersama, kami menulis ulang mimpi-mimpi-ku dan -nya, menjadi mimpi utuh kami.
Juga kembali bersyukur, atas terkabulnya doa dan harapan gw tentang hidup di desa, jauh dari polusi dan kebisingan, jauh dari klakson angkot dan teriakan supir-supir, jauhhh dari M-A-C-E-T. (Itulah kenapa ketika seorang mbak itu menawarkan proposal padaku, proposal milik seseorang yang hidupnya bisa nomaden dan hampir pasti di pedalaman, aku dengan yakin menjawab No Problem 😀 ). Meski ya, meski, Giant yang dulunya kepleset nyampe, kini harus ditempuh dengan ngonthel sampe pinggang pegel-pegel. Yang dulu gampang aja bolak-balik pasar belanja ini itu, sekarang baru bisa seminggu sekali dan itupun tak pasti. Wkwk. Mendukung banget pokoknya buat menghemat kantong, hahaa… belanja onlen pun segan, karena ongkir yang bisa kena lebih mihil daripada harga barangnya. Yah ada hitam ada putih lah ya… ada merah ada juga biru.
Dan bersyukur lagi, atas karunia merasakan mantepnya perjuangan jadi calon bunda. Mualnya, lemesnya, pusingnya, gak doyan makannya, pait lidahnya, muntahnya, yummyyy… meski shaumnya harus membolong 2 hari (semoga no more), tetep aja, alhamdulillaah together with Allah we can, ya dek :*
Kata seorang teman, temannya pernah bilang kalau “menikah itu tak seindah bukunya Salim A Fillah”. Ahak uhuk. Iya sih. Tetapi, pernikahan yang kurasakan jauh lebih berwarna warni daripada sekadar yang digambarkan di buku-buku itu. Ihhihi, lebaykah gw? Ah enggak, biasa aja.
Yang jelas, buat gw, segala fakta, data, realita, rasa, dan apapun yang mesti gw hadapi kini dan ke depan, kata teh Kiki Barkiah, adalah alasan mengapa Allah menikahkanku dengannya. Karena bersama, insyaallah kami bisa lebih baik.
Itu ceritaku, dan aku gak akan nanya “mana ceritamu?”.